Menurut Slamet Mulyana (dalam
Waridah, 2009: 322) gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena
perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan sesuatu
perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa disebut majas.
Majas atau gaya bahasa adalah
pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh
efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara
khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis
(Tim Redaksi, 2010: www.wikipedia.org).
Gaya bahasa seseorang pada saat
mengungkapkan perasaannya, baik secara lisan maupun tulisan dapat menimbulkan
reaksi pembaca berupa tanggapan. Secara garis besar, gaya bahasa terdiri dari
empat jenis, yaitu majas majas penegasan, majas pertentangan, majas
perbandingan, dan majas sindiran (Waridah, 2009: 322). Beberapa gaya bahasa itu
dikelompokkan sebagai berikut (Waridah, 2009: 322-336):
a. Majas
Penegasan
1) Apofasis atau
preterisio adalah gaya bahasa untuk menegaskan sesuatu dengan cara seolah-olah
menyangkal hal yang ditegaskan (Waridah,
2009: 322).
Contoh:
a) Rasanya berat
bibir ini untuk mengatakan bahwa kucing kesayangannya sudah mati tadi siang
karena tertabrak mobil.
b) Reputasi anda
di hadapan para karyawan sangat baik. Namun dengan adanya pemecatan karyawan
tanpa alas an saya ingin mengatakan bahwa Anda baru saja menghancurkan reputasi
baik itu.
2) Repetisi
adalah pengulangan kata, frase, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk
memberikan penekanan (Waridah, 2009: 322).
Contoh:
a) Bukan uang,
bukan mobil, bukan juga rumah mewah yang aku harapkan dari ayah dan ibu. Aku
hanya ingin ayah dan ibu ada di sini. Aku hanya ingin perhatian. Hanya itu,
tidak lebih.
b) Segala, segala
Ani, ya Aniku, Ani,
Mengapa kangmas engkau tinggalkan?
Lengang sepi rasanya rumah.
(Sutan Takdir Ali Sjabana)
3) Aliterasi
adalah pengulangan konsonan pada awal kata secara berurutan (Waridah, 2009:
322-323).
Contoh:
a) ….
Mengalir, menimbu, mendesak, mengepung,
Memenuhi sukma, menawan tubuh
(Perasaan Seni, J.E. tatengkeng)
b) Budi baik
bagai bekal bagi kehidupan kita.
4) Pleonasme
adalah suatu pikiran atau gagasan yang disampaikan secara berlebihan sehingga
ada beberapa keterangan yang kurang dibutuhkan (Waridah, 2009: 323).
Contoh:
a) Kami mendengar
kabar itu dengan telinga kami sendiri.
b) Naiklah ke
atas dengan hati-hati.
c) Api yang panas
telah meluluhlantakkan pasar tradisonal itu.
2. Pararelisme
adalah gaya bahasa yang memakai kata, frase, atau klausa yang kedudukan sama
atau sejajar (Waridah, 2009: 323).
Contoh:
a) Baik golongan
yang tinggi maupun golongan yang rendah harus diadili kalau bersalah.
b) Segala kupinta
tiada kau beri
Segala Tanya tiada kau sahuti
(“Nyanyi Sunyi”, Amir Hamzah).
3. Tautologi adalah
gaya bahasa berupa pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya (Waridah,
2009: 323).
Contoh:
a) Ia jadi marah
dan murka kepada orang yang menyerempet motor kesayangannya.
b) Rapat direksi
akan dibuka oleh Pak Amri pukul 08.00 pagi.
4. Inversi adalah
gaya bahasa yang mendahulukan predikat sebelum subjek dalam kalimat (Waridah,
2009: 324).
Contoh:
a) Kubelai
rambutnya yang panjang.
b) Ada perbedaan
sudut pandang antara dia dan saya.
5. Elipsis adalah
gaya bahasa yang menghilangkan beberapa unsur kalimat, unsur-unsur yang hilang
tersebut mudah ditafsirkan oleh pembaca (Waridah, 2009: 324).
Contoh:
a) Andai saja
kamu mau menuruti saranku, tentu….
Sudahlah semua sudah terjadi, tidak perlu dibicarakan lagi.
b) Aku sudah
memberimu modal uang, barang, bahkan waktuku bersama keluarga, tetapi
hasilnya….
6. Retoris adalah
gaya bahasa untuk menanyakan sesuatu yang jawabannya telah terkandung dalam
pertanyaan tersebut (Waridah, 2009: 324).
Contoh:
a) Adakah orang
yang ingin sakit selama hidupnya?
b) Siapa yang
ingin bahagia?
7. Klimaks adalah
gaya bahasa untuk menuturkan satu gagasan atau hal secara berturut-turut dari
yang sederhana meningkat ke gagasan atau hal yang lebih kompleks (Waridah,
2009: 324).
8. Antiklimaks
adalah gaya bahasa untuk menentukan satu hal atau gagasan yang penting atau
kompleks menurun kepada hal atau gagasan yang sederhana (Waridah, 2009: 325).
9. Antanaklasis
adalah gaya bahasa yang menggunakan pengulangan kata yang sama tetapi maknanya
berbeda (Waridah, 2009: 325).
10. Pararima adalah
bentuk pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang
berlainan. Contoh: bolak-balik, liku-lku, kocar-kacir (Waridah, 2009: 325).
11. Koreksio adalah
gaya bahasa yang pada mulanya menegaskan sesuatu yang dianggap kurang tepat,
kemudian diperbaiki (Waridah, 2009: 325).
12. Sindenton
adalah gaya bahasa untuk mengungkapkan sesuatu kalimat atau wacana yang setiap
bagiannya dihubungkan oleh kata penghubung (Waridah, 2009: 325).
13. Eklamasio
adalah gaya bahasa yang menggunakan kata seru (Waridah, 2009: 326).
14. Alonim adalah
penggunaan varian dari nama untuk menegaskan (Waridah, 2009: 326).
15. Interupsi
adalah gaya bahasa yang menyisipkan keterangan tambahan di antara unsur-unsur
kalimat (Waridah, 2009: 327).
16. Pretario adalah
ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya (Waridah,
2009: 327).
17. Silepsis adalah
gaya bahasa dengan menggunakan dua kontruksi sintaksis yang dihubungkan oleh
kata sambung. Namun hanya salah satu konstruksi yang maknanya utuh (Waridah,
2009: 327).
b. Majas Sindiran
1. Ironi adalah
gaya bahasa untuk mengatakan sesuatu maksud menggunakan kata-kata yang
berlainan atau bertolak belakang dengan maksud tersebut (Waridah, 2009: 328).
Contoh:
a) Rapi sekali
kamarmu sampai-sampai tidak satupun sudut ruangan yang tidak ditutupi sampah
kertas.
b) Bagus benar
kinerja aparat pemerintah sekarang ini sehingga jumlah pengangguran semakin
bertambah.
2. Sarkasme
adalah gaya bahasa yang berisi sindiran kasar (Waridah, 2009: 328). Contoh: Mulutmu harimaumu,
Anda makan rakus sekali.
3. Sinisme adalah
sindiran yang berbentuk kesangsian cerita mengandung ejekan terhadapa
keikhlasan dan ketulusan hati. Contoh: Sudah hentikan saja bujuk rayumu, karena
hanya akan membuatku sakit (Waridah,
2009: 328)
4. Antifrasis
adalah gaya bahasa ironi dengan kata atau kelompok kata yang maknanya berlawanan.
5. Inuendo adalah
sindiran yang sifatnya mengecilkan fakta sesungguhnya. Contoh: “Awas, Si Bule
datang”, saat Ido berkulit hitam mendekati mereka (Waridah, 2009: 328).
c. Majas
Pertentangan
1. Anthitesis
adalah gaya bahasa yang mengungkapkan suatu maksud dengan menggunakan kata-kata
yang saling berlawanan (Waridah, 2009: 329).
Contoh:
a) Setiap warga
Negara Indonesia baik laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa,
mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum.
b) Semua kebaikan
ayahnya dibalas dengan keburukan yang menyesakkan dada.
2. Paradoks
adalah gaya bahasa untuk mengungkapkan dua hal yang seolah-olah saling
bertentangan namun sebenarnya keduanya benar (Waridah, 2009: 329).
Contoh:
a) Jiwanya terasa
sepi di tengah hingar-bingar pesta.
b) Hati boleh
panas tetapi kepala harus tetap dingin dalam mengambil keputusan.
3. Oksimoron
adalah gaya bahasa yang mengandung
pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama
(Waridah, 2009: 329).
Contoh:
a) Kegagalan
adalah kesuksesan yang tertunda
b) Suap menyuap
di jalan raya sudah menjadi rahasia umum
c) Kepahitan
hidupnya di masa muda berbuah manis di masa tua.
4. Anakronisme adalah gaya bahasa yang
mengandung ketidaksesuaian antara peristiwa dan waktunya (Waridah, 2009: 330).
Contoh:
a) Arjuna saling
berkirim sms dengan Srikandi untuk melepas rasa rindu.
b) Hang Tuah
melihat arloji, lalu menghidupkan pesawat televisinya.
5. Kontradiksi
interminus adalah gaya bahasa yang berisi sangkalan terhadap pernyataan yang
disebutkan sebelumnya (Waridah, 2009: 330).
Contoh:
a) Siswa yang
tidak berkepentingan dilarang masuk, kecuali panitia lomba.
b) Dr. Syahrul membuka praktik setiap hari
Senin-Sabtu, pikul 17.00-19.00 kecuali hari Jumat pukul 15.00-17.00.
d. Majas
Perbandingan
1. Metafora
adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal benda secara singkat dan padat
(Waridah, 2009: 330).
Contoh:
a) Buku adalah
jendela ilmu
b) Bumi ini
perempuan jalang yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum
ini.
c) Tuhan adalah
warga Negara paling modern
d) Rino jatuh ke
hati pada kembang desa Tegal Sari
2. Sinestesia
adalah gaya bahasa yang mempertukarkan dua indera yang berbeda (Waridah, 2009: 330).
Contoh:
a) Kamu sangat
manis saat memakai kebaya
b) Wajahnya
dingin saat mendengar kabar kematian anaknya
3. Simile adalah
gaya bahasa perbandingan yang ditandai dengan kata depan dan penghubung seperti
layaknya, bagaikan, bagai, seperti, bagai (Waridah, 2009: 331).
Contoh:
a) Hubungannya
bagai anjing dan kucing.
b) Jalani hidup
ini seperti air mengalir
c) Layaknya padi
yang berisi dia tidak pernah sombong
4. Alegori adalah
gaya bahasa untuk mengungkapkan suatu hal melalui kiasan atau gambaran
(Waridah, 2009: 331)..
5. Alusio adalah
gaya bahasa yang berusaha menyugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau
peristiwa (Waridah, 2009: 332).
Contoh:
a) Semangat
Bandung Lautan Api menggelora di hati kami
b) Hamparan
permadani hijau terbentang luas melingkupi kawasan Masjid At Taawun di Puncak
Bogor
6. Metonimia
adalah gaya bahasa yang menggunakan nama merk atau atribut tertentu untuk
menyebut benda. Contoh: Celana Levi’s membuat kakinya yang panjang dan langsing
(Waridah, 2009: 332).
7. Hiperbola
adalah gaya bahasa yang bersifat melebih-lebihkan suatu kenyataan (Waridah,
2009: 333).
Contoh:
a) Amarahnya tiba-tiba
menggelegar di tengah suasana rapat yang tenang.
b) Senyuman gadis
itu melemahkan sendi-sendi tubuhku.
8. Litotes adalah
gaya bahasa yang maknanya mengecilkan fakta dengan tujuan untuk merendahkan
diri (Waridah, 2009: 333-334).
Contoh:
a) Goresan pena
ini adalah hadiah untuk Ibu.
b) Mohon maaf
kami hanya bisa membantu ala kadarnya.
9. Personifikasi
adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati seolah-olah memiliki
sifat-sifat kemanusiaan (Waridah, 2009: 334).
Contoh: Matahari baru saja kembali ke peraduannya
10. Sinekdoke adalah
gaya bahasa yang menyebutkan sebagian, tetapi yang dimaksud adalah seluruh
bagian atau sebaliknya. Sinekdoke terbagi atas pars prototo (sebagian untuk
seluruh bagian) dan totum pro parte (keseluruhan untuk sebagian) (Waridah,
2009: 335).
Contoh:
a) Pak Imron
memelihara sepuluh ekor kambing (pars prototo)
b) Pertandingan
sepak bola antara Brazil melawan Belanda berakhir seri 0-0 (totum pro parte)
c) Setiap kepala
dikenakan denda Rp 5.000,- (pars prototo)
d) Chikungunya
menyerang Jawa Barat (totum pro parte)
11. Eufemisme adalah
gaya bahasa yang menggunakan kata-kata halus untuk menggantikan kata-kata yang
dianggap tabu (Waridah, 2009: 335).
Contoh:
a) Para
penyandang tuna netra dan tuna rungu mendapatan bea siswa dari pemerintah.
b) Pembicara
utama akan memaparkan materinya, para hadirin dimohon untuk mengkondisikan alat
komunikasinya.
12. Perifrase adalah
gaya bahasa untuk menggantikan sesuatu kata atau kelompok kata lain (Waridah,
2009: 335).
Contoh:
a) Berlibur ke
Pulau Dewata sangat menyenangkan (Pulau
Dewata=Bali)
b) Kawasan
Serambi Mekah diterjang tsunami.
13. Simbolik adalah
gaya bahasa untuk melukiskan sesuatu maksud dengan menggunakan simbol atau
lambang (Waridah, 2009: 336).
Contoh:
a) Banyak tikus
berkeliaran di gedung rakyat (tikus simbol koruptor)
b) Kupu-kupu
malam berterbangan di malam hari.
Menurut Suyoto (2010:www.google .com), majas atau gaya
bahasa adalah bahasa kias yang digunakan untuk mempertajam kamsud. Macam-macam
majas antara lain:
a. Majas
perbandingan
1. Personifikasi,
yaitu majas yang membandingkan benda yang tidak bernyawa seolah-olah dapat
bertindak seperti manusia.
Contoh :
a. Bulan
menangis menyaksikan manusia saling bunuh.
b. Daun-daun
memuji angin yang telah menyapanya.
2. Metafora, yaitu
membandingkan dua hal/benda tanpa menggunakan kata penghubung.
Contoh :
a. Bumi itu
perempuan jalang.
b. Tuhan adal;ah
warga negara yang paling modern.
Simile/Perumpamaan, yaitu membandingkan dua hal/benda dengan
menggunakan kata penghubung.
Contoh :
a. Wajahnya
bagai bola api.
b. Tatapannya
laksana matahari.
c. Seperti angin
aku melayang kian kemari.
Alegori, membandingkan hal/benda secara berkelanjutan
membentuk sebuah cerita.
Contoh :
Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir
menyusuri tebing-tebing, yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang
rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu
dengan laut.
b. Majas pertentangan
1. Hiperbola,
mempertentangkan secara berlebih-lebihan.
Contoh :
a. Saya telah
berusaha setengah mati menyelesaikan soal itu.
b. Kekayaannya
selangit.
2. Litotes,
mempertentangkaan dengan merendahkan diri.
Contoh :
a. Kalau sempat
mampirlah ke gubukku.
b. Ah, saya ini
khan cuma kacung.
3. Ironi,
mempertentangkan yang bertujuan menyindir dengan menyampaikan sesuatu yang
bertentangan dengan fakta yang sebenarnya.
Contoh :
a. Hebat betul,
pertanyaan semudah itu tidak bisa kaujawab.
b. Rajin betul,
jam sepuluh baru datang!
4. Oksimoron,
mempertentangkan secara berlawanan bagian demi bagian.
Contoh :
a. Kekalahan
adalah kemenangan yang tertunda.
b. Kesedihan
adalah awal kebahagiaan.
c. Majas pertautan
1. Metonimia,
menghubungkan ciri benda satu dengan benda lain yang disebutkan.
Contoh :
a. Kakakku
sedang membaca Pramudya Ananta Toer.
b. Belikan aku
gudang garam filter.
2. Sinekdoke,
mernyebut sebagian untuk keseluruhan (pars pro toto) atau keseluruhan untuk
sebagian (totum pro part).
Contoh :
a. SMA Stella
Duce 2 Yogyakarta berhasil masuk final pertandingan basket.
b. Roda duanya
mogok.
Alusio, mempertautkan hal dengan peribahasa.
Contoh :
a. Kalau kita
menggunakan sebaiknya hemat jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang.
b. Sebaiknya kita
menggunakan ilmu padi dalam kehidupan kita, semakin berisi semakin tunduk.
Inversi, mengubah susunan kalimat.
Contoh :
a. Hancurlah
hatinya menyaksikan kekasihnya berpaling ke lelaki lain.
b. Merahlah
mukanya mendengar caci maki sahabat karibnya.
d. Majas perulangan
Aliterasi, mengulang bunyi konsonan yang sama.
Contoh :
a. Malam kelam
suram hatiku semakin muram.
b. Gadis manis
menangis hatinya teriris iris.
Antanaklaris, memgulang kata yang sama dengan arti yang
berbeda.
Contoh :
a. Buah hatinya
menjadi buah bibir tetangganya.
b. Hatinya
memintanya berhati-hati.
Repetisi, mengulang-ulang kata, frase, atau klausa yang
dipentingkan.
Contoh :
a. Di Stella
Duce 2 Yogyakarta ia mulai meraih prestasi, di Stella Duce 2 Yogyakarta ia
menemukan tambatan hati, di Stella Duce 2 Yogyakarta pula ia menunggu hari
tuanya.
b. Tidak ada kata
lain selain berjuang, berjuang, dan terus berjuang.
Paralelisme, mengulang ungkapan yang sama dengan tujuan
memperkuat nuansa makna.
Contoh :
a. Sunyi itu
duka, sunyi itu kudus, sunyi itu lupa, sunyi itu mati.
b. Hidup adalah
perjuangan, hidup adalah persaingan, hidup adalah kesia-siaan.
Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian
ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa
sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan
perasaan, baik secara lisan maupun tertulis (Tim Redaksi, 2010:
www.wikipedia.org).
Jenis-jenis majas menurut Tim Redaksi (2010: www.wikipedia.org), antara
lain:
1. Majas
perbandingan
a. Alegori:
Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena
sudah dikenal.
Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang
dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan
menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk
lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu
indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.
Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama
diri lain sebagai nama jenis.
Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau
pekerjaan orang.
Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda
lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai
untuk menunjukkan hubungan karib.
Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta
dengan tujuan merendahkan diri.
Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan
sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku
manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan
benda-benda mati atau tidak bernyawa.
Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk
menunjukkan keseluruhan objek.
Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang
dimaksud hanya sebagian.
Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau
dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa
kurang pantas sebagaimana adanya.
Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang
dapat berpikir dan bertutur kata.
Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau
disamarkan dalam cerita.
Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan
yang lebih pendek.
Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau
lambang untuk menyatakan maksud.
Asosiasi: perbandingan terhadap dua hal yang berbeda, namun
dinyatakan sama.
. Majas sindiran
a. Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang
sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
b. Sarkasme: Sindiran
langsung dan kasar.
c. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau
ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
d. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau
parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
e. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta
sesungguhnya.
3. Majas penegasan
a. Apofasis:
Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
b. Pleonasme:
Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan
keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam
suatu kalimat.
Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata
atau bagian kata yang berlainan.
Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara
berurutan.
Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase,
atau klausa yang sejajar.
Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek
tertentu.
Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi
dengan makna yang berlainan.
Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari
yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara
berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang
sederhana/kurang penting.
Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu
kalimat sebelum subjeknya.
Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah
terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang
dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap
keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana,
dihubungkan dengan kata penghubung.
Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata
penghubung.
Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di
antara unsur-unsur kalimat.
Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi
bagian suatu keseluruhan.
Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan
maksud yang sebenarnya.
Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain
yang berdampingan dalam kalimat.
Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari
satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan
tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat
yang rancu.
4. Majas pertentangan
a. Paradoks:
Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun
sebenarnya keduanya benar.
Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang
berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal
yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan
antara peristiwa dengan waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar